This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, July 9, 2010

Tips Menjadi Wartawan Yang Professional

Yang harus dimiliki seorang wartawan yakni :
  • Pintar : Ia mampu menangkap, membaca situasi yang terjadi mengenai kapan ia harus mengambil berita dalam segala kondisi, pintar membaca maksud yang disampaikan narasumber, baik melalui bahasa tubuh atau secara lisan dari narasumber.
  • Cekatan : Seorang wartawan harus lincah dalam memburu berita, harus mempunyai motto “i hate slow”, tidak boleh lamban, dan bukan tipe seorang yang pemalas.
  • Jujur : yakni menulis berita untuk publik tentang sesuatu yang benar-benar ada, benar-benar terjadi, serta disertai bukti-bukti yang kongkrit dan berdasar fakta yang ia dapatkan dari lapngan.
  • Fleksibel : yaitu, harus bisa mengikuti dinamika berbagai masyarakat yang ia temui dalam setiap peliputan berita, tidak boleh kaku dan “dingin”, sebab wartawan diharuskan berinteraksi dengan masyarakat dalam mencari bukti-bukti.
  • Percaya Diri : Tingkat kePD-an seorang wartawan harus 100%, tanpa sikap PD, berita akan sulit didapat, karena malu bertanya pada orang lain yang mengetahui persis peristiwa yang terjadi. Ingat kata pepatah, “Malu Bertanya, Seat Di Jalan”. Tak perlu cantik atau ganteng untuk menjadi wartawan, cukup dengan PD, inner beauty akan muncul dari dalam diri kita

(sumber)

teknik menjadi seorang jurnalis yang handal

Menjadi wartawan handal adalah sebuah cita-cita dan idealisme yang sangat layak diraih pada saat ini terutama kaum muda,begitu juga dengan saya. Profesi Jurnalis adalah sebuah pekerjaan yang sangat menantang , komplek, bergengsi, penuh resiko dan bahaya, merangsang bergairah sekaligus menebar semangat kecerdasan, profesionalisme, pengetahuan dan integritas tinggi.
Sejak era reformasi dimulai, dunia pers menjajikan pekerjaan jurnalistik yang menantang kepada generasi muda yang terampil dan ulet. Banyak penerbit bulletin, majalah, tabloid atau Koran harian, maka banyak tenaga jurnalis dibutuhkan. Keterampilan jurnalistik harus terasah dan diasah sehingga menjadi wartawan yang professional, wartawan yang punya wawasan, wartawan yang punya kepribadian dan wartawan yang punya keahlian. Wartawan atau sering diseput kuli tinta, kuli disket atau flesh dish, harus menyadari perannnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan mengacaukan bangsa, bukan mengamankan pengacau bangsa, bukan membiarkan carut marit ketakberaturan penyelenggaraan Negara.
Era reformasi ini banyak penerbit karya jurnalisitik yang bersiupp, atau hanya berpayung UU Pers. Fred S Siebert –Thiodore Peterson dan Wilbur Schramm pernah mengatakan empat teori pers dunia.
Pertama, teori pers libertarian yang tujuan utamanya adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi kepada Negara dengan pencitraan.
Kedua, teori pers yang tujuan utamanya adalah memberikan informasi, menghibur, dan berjualan, tetapi terutama untuk membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah.
Ketiga, teori pers tanggung jawab sosial (social responsibility) yang bertujuan adalah memberikan informasi, menghibur dan berjualan tetapi terutama mengangkat konflik sampai ketingkatan yang
ke  empat teori pers  soviet-komunis yang bertujuan untuk memberikan sumbangsih terhadap keberhasilandan keberlanjutan system sosialis Soviet dan terutama kediktatoran partai.
Jadi para jurnalis Indonesia sebaiknya menyadari perannya itu secara benar. Untuk memajukan negara ini tentu terpulang dari wartawan profesional itu sendiri menjadikan handal.
Ini beberapa teknik menjadi jurnalis handal
Teknik Reporter

Profesi reporter merupakan ujung tombak di dalam dunia jurnalistik. Bagaimana isu-isu di masyarakat dicari sumber informasinya, hingga kemudian dikemas ke dalam sebuah artikel yang menarik dan layak untuk dibaca merupakan deskripsi sederhana kerja seorang reporter. Namun di balik itu semua dibutuhkan teknik-teknik dan juga trik khusus di dalam melakukan reportase dan menulis sebuah artikel. Di dalam tulisan ini, akan dibahas secara tuntas bagaimana teknik reportase, dan menulis artikel jurnalistik yang baik.
Kerja seorang reporter

Reportase merupakan pekerjaan dimana kita harus seratus persen focus dan bertanggung jawab di dalamnya. Jika kita hanya setengah2 dan tidak tuntas di dalam bekerja akan terjadi missing di masyarakat yang bisa saja menjadi masalah besar dengan pertanggungjawaban yang besar pula. Namun menjadi reporter bukan melulu akan menjadi profesi yang menyebalkan dan membosankan. Itu semua tergantung dengan bagaimana kita mengerjakannya. Jika kita mengerjakannya dengan sepenuh hati, niat yang baik untuk memberikan informasi kepada masyarakat, dan juga menjalin hubungan baik dengan orang lain, niscaya pekerjaan reporter akan menjadi profesi yang sangat menyenangkan.

a. Menanggapi isu yang berkembang
   Kerja awal reporter adalah menghadapi isu-isu yang berkembang di   masyarakat. Seperti contoh isu tentang aliran dan Bank Century  untuk kampanye SBY. Sebagai reporter yang baik, langkah awal setelah mendengar adanya isu adalah berpikir netral. Ubah niat kita menjadi untuk mencari kebenaran bukan untuk menyudutkan salah satu pihak.

b. Mencari sumber dan data terkait yang valid
   Setelah menanggapi isu tersebut, ditindaklanjuti dengan mencari sumber dan data terkait yang valid. Data yang dicari bisa merupakan data primer yaitu langsung kepada narasumber terkait, dan juga data sekunder yaitu data literature yang valid dari sumber terpercaya.

c. Proses wawancara dan pencarian data literature
   Proses ini merupakan proses terpenting di dalam kerja seorang reporter. Antara data primer dan data sekunder sama pentingnya, namun di dalam proses ini data primer harus didahulukan. Hal tersebut karena terkadang data sekunder dari sumber terpercaya pun bisa saja direkayasa oleh pihak tertentu. Berbeda dengan data primer, saat kita bertemu face to face dengan narasumber terkait, akan terasa atmosfer berbeda dan disinilah sifat kritis reporter diperlukan di dalam menginvestigasi narasumber.

d. Proses peredaksian.
    Data yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, khusus untuk data primer reporter wajib untuk membuat verbatim, yaitu sebuah catatan lengkap tanya jawab pada saat melakukan wawancara. Tidak lupa data primer dan sekunder dilakukan uji cross, sehingga pastikan data sinkron sebelum masuk ke tahap penulisan artikel.

e. Proses penulisan
    Proses penulisan artikel merupakan tahap akhir di dalam kerja reporter. Setelah isu ditanggapi, dicari tahu kebenarannya, dan diolah datanya tiba saatnya reporter mengejawantahkannya ke dalam bentuk tulisan. Inti dari proses ini adalah berjiwa kritis. Pada proses awal tadi sempat dijelaskan bahwa niat awal kita adalah netral. Namun pada saat penulisan kita harus memberikan info sebenar-benarnya. Reporter harus mengeluarkan pemikiran kritisnya, namun tetap cerdas, mematuhi etika, dan tidak membabi buta dalam mengemukakan fakta informasi.



Teknik Jitu Dalam Pencarian Data

Telah diutarakan sebelumnya bahwa data terbagi atas data primer yang langsung kepada narasumber terkait dan data sekunder berupa data literature dari sumber yang terpercaya. Untuk tiap data tersebut terdapat tips khusus agar reporter bisa maksimal dalam bekerja.
a. Tips untuk data primer (wawancara langsung narasumber).

     - Reporter harus mau bekerja keras dan berani. Sehingga siapapun narasumbernya reporter tersebut tidak gentar. Terkadang narasumber tertentu sulit untuk ditemui. Reporter yang baik harus cekatan membuat janji dengan narasumbernya, terkadang jika kita beruntung cobalah untuk datangi langsung kantornya, biasanya kesempatan untuk wawancara bisa langsung dating. Jangan jadi reporter yang malas dan manja!

     - Reporter harus siap dengan pertanyaannya. Kembangkan jiwa kritis kalian pada saat wawancara. Jangan hanya mengangguk dan mudah berkata iya terhadap semua jawaban narasumber. Lagi-lagi kita harus konsentrasi penuh terhadap narasumber. Sehingga kita dapat memberikan tanggapan yang tepat pada saat itu juga.

     - Reporter harus menggiring narasumber kepada permasalahan, bukan sebaliknya. Sebagai reporter kita harus bermain cantik dengan tidak to the point saat wawancara berlangsung. Hal ini untuk menghindari narasumber yang malah akan menjadi malas untuk diwawancara.

     - Reporter harus efektif dan efisien dalam wawancara. Reporter harus memiliki perkiraan waktu yang tepat. Biasanya sesaat sebelum wawancara dimulai, antara reporter dan narasumber terjadi kesepakatan waktu wawancara. Reporter harus dapat memperkirakan berapa waktu untuk berbasa-basi dan berapa waktu untuk pertanyaan yang berhubungan dengan akar permasalahan.

     - Reporter harus mampu mengendalikan permainan. Terkadang ada narasumber yang cenderung ingin menguasai jalannya wawancara, menjawab berputar-putar, dan mengalihkan pembicaraan. Kunci untuk menghadapi masalah ini adalah ketahuilah terlebih dahulu dasar-dasar permasalahannya, dan perbanyaklah pengalaman. Karena keahlian wawancara tidak akan muncul pada saat pertama kali. Dibutuhkan pengalaman yang banyak sehingga kita terbiasa berbincang dengan orang lain, hingga tahu psikologis orang yang kita wawancarai.

     - Gunakan kalimat yang sopan dan baik, karena narasumber ingin selalu dihargai atas waktu dan kesempatan yang ia berikan untuk wawancara.
     - Jadikan tiap kesempatan wawancara menjadi tempat untuk menjalin relasi. Sehingga kapanpun kita membutuhkan wawancaranya lagi, dengan senang hati narasumber yang sama akan senang hati menerima anda.

b. Tips untuk data sekunder

     - Kunjungi situs online resmi, untuk mencari data terkait. Ingat data tidak boleh sembarangan!

     - Jika tidak terdapat situs resmi, kunjungilah instansi terkait. Tanyakan data yang anda butuhkan saat itu juga.

    - Cari data lewat buku-buku dengan kutipan dan daftar pustaka yang jelas. Coba cek melalui daftar pustaka, data-data yang mungkin berhubungan. (OS)
Semoga bermanfaat :D


(sumber)

Langkah Mudah Jadi Jurnalis Tanpa Harus Kuliah Publisistik




Menjadi jurnalis professional tidaklah gampang, banyak persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya harus memiliki kepribadian cerdas, energik dan berani. Hal itu dibutuhkan karena jurnalis akan berhadapan dengan orang-orang berintelektual tinggi seperti pejabat maupun birokrat. Disamping itu, jurnalis juga harus mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik, tepat waktu, meskipun harus menembus medan berat seperti meliput peristiwa kerusuhan, perang, tawuran, bentrokan antar kelompok, gunung meletus, dan bencana lainnya. Makanya tidak heran jika perusahaan-perusahaan media menerapkan seleksi ketat ketika merekrut para jurnalis. Nah, bagi Anda yang mengambil kuliah non-publisistik dan memiliki cita-cita jadi jurnalis, baik jurnalis TV, online, maupun cetak, ada baiknya untuk mempersiapkan diri sebelum bekerja agar tidak kaget dengan tekanan beban kerja. Untuk itu, simaklah ulasannya berikut ini. Lampaui syarat-syarat masuknya Umumnya perusahaan-perusahaan media menerapkan persyaratan standar bagi pelamar yang ingin mengisi posisi jurnalis, diantaranya nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) selama kuliah minimal 2,75 dan bahkan ada juga perusahaan yang menerapkan minimal IPK 3,00. Ditambah lagi Anda harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, lisan maupun tulisan. Kemudian, ketika interview, biasanya Anda akan ditanya seputar pengetahuan kejurnalistikan, bahkan jangan kaget jika diminta untuk membuat contoh tulisan, artikel, berita maupun memperagakan skill lewat uji kompetensi. Apabila hasil interview dan tes Anda dinilai memuaskan, selanjutnya tinggal mengikuti psikotes. Tes ini dalam rangka mengukur kepribadiaan dan penguasaan akademik Anda lewat serangkaian isian soal yang disediakan perusahaan. Jika semuanya mampu terlewati, Anda pasti diterima menjadi jurnalis. Ikuti pelatihan-pelatihan jurnalistik Khusus untuk Anda yang masih kuliah, ada baiknya mempersiapkan diri sebelum masuk ke perusahaan media yang diinginkan lewat kegiatan seperti pers kampus, forum wartawan, komunitas jurnalis, dan pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh praktisi jurnalis professional. Hal ini penting untuk dapat mengenal cara kerja jurnalis, mengenal model penulisan, cara melakukan peliputan, wawancara ekslusif dan lain-lain, sehingga Anda tidak kaget lagi ketika masuk ke perusahaan media yang sudah besar. Selain bisa menambah pengetahuan tentang jurnalistik, manfaat lain dari mengikuti pelatihan jurnalistik adalah bisa saling kenal dengan para praktisi professional yang kelak bisa mereferensikan Anda bekerja di perusahaan media.



(sumber)
Menjadi jurnalis professional tidaklah gampang, banyak persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya harus memiliki kepribadian cerdas, energik dan berani. Hal itu dibutuhkan karena jurnalis akan berhadapan dengan orang-orang berintelektual tinggi seperti pejabat maupun birokrat. Disamping itu, jurnalis juga harus mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik, tepat waktu, meskipun harus menembus medan berat seperti meliput peristiwa kerusuhan, perang, tawuran, bentrokan antar kelompok, gunung meletus, dan bencana lainnya. Makanya tidak heran jika perusahaan-perusahaan media menerapkan seleksi ketat ketika merekrut para jurnalis. Nah, bagi Anda yang mengambil kuliah non-publisistik dan memiliki cita-cita jadi jurnalis, baik jurnalis TV, online, maupun cetak, ada baiknya untuk mempersiapkan diri sebelum bekerja agar tidak kaget dengan tekanan beban kerja. Untuk itu, simaklah ulasannya berikut ini. Lampaui syarat-syarat masuknya Umumnya perusahaan-perusahaan media menerapkan persyaratan standar bagi pelamar yang ingin mengisi posisi jurnalis, diantaranya nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) selama kuliah minimal 2,75 dan bahkan ada juga perusahaan yang menerapkan minimal IPK 3,00. Ditambah lagi Anda harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, lisan maupun tulisan. Kemudian, ketika interview, biasanya Anda akan ditanya seputar pengetahuan kejurnalistikan, bahkan jangan kaget jika diminta untuk membuat contoh tulisan, artikel, berita maupun memperagakan skill lewat uji kompetensi. Apabila hasil interview dan tes Anda dinilai memuaskan, selanjutnya tinggal mengikuti psikotes. Tes ini dalam rangka mengukur kepribadiaan dan penguasaan akademik Anda lewat serangkaian isian soal yang disediakan perusahaan. Jika semuanya mampu terlewati, Anda pasti diterima menjadi jurnalis. Ikuti pelatihan-pelatihan jurnalistik Khusus untuk Anda yang masih kuliah, ada baiknya mempersiapkan diri sebelum masuk ke perusahaan media yang diinginkan lewat kegiatan seperti pers kampus, forum wartawan, komunitas jurnalis, dan pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh praktisi jurnalis professional. Hal ini penting untuk dapat mengenal cara kerja jurnalis, mengenal model penulisan, cara melakukan peliputan, wawancara ekslusif dan lain-lain, sehingga Anda tidak kaget lagi ketika masuk ke perusahaan media yang sudah besar. Selain bisa menambah pengetahuan tentang jurnalistik, manfaat lain dari mengikuti pelatihan jurnalistik adalah bisa saling kenal dengan para praktisi professional yang kelak bisa mereferensikan Anda bekerja di perusahaan media.

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

10 Tidak Boleh Buat Jurnalis

Menjadi jurnalis buat sebagian orang adalah panggilan jiwa. Talenta mereportase dan menulis sebagai basis, menjadikan seseorang terpanggil untuk menjadi wartawan. Tapi, ada pula yang memilih pekerjaan ini lantaran belum diterima di profesi lain. Meski demikian, ketika seseorang sudah menyandang predikat wartawan, ia dipaku dengan sejumlah aturan. Kalangan jurnalis akrab menyebutnya dengan Kode Etik Jurnalistik. Selain itu, ada banyak hal yang berkenaan dengan profesi wartawan yang tidak terangkum dalam Kode Etik. Tiap perusahaan kemudian memberikan panduan. Sejumlah organisasi profesi pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya, juga memberikan panduan. Pengalaman beberapa jurnalis senior juga menjadi bahan pegangan. Dari semua itu, poin-poin ini saya jabarkan. Sejujurnya ini banyak diambil dari pengalaman di lapangan, mengikuti rapat keredaksian, dan saling bertukar pendapat dengan sesama wartawan. Rata-rata semua sepakat dengan kesepuluh poin ini. Ada memang beberapa lainnya, tapi saya fokuskan saja menjadi sepuluh. Ini niatnya sekadar memudahkan saja. Sumpah, Gan! Mau dibikin lebih panjang pun tak masalah. Ibarat merangkum senarai teks panjang, demikian pula di noktah ini. Oke, kita mulai. Pertama, tidak boleh menolak tugas. Para bos media acap mempersamakan jurnalis dengan polisi atau tentara. Begitu ada perintah untuk turun ke lapangan, saat itu juga berangkat. Entah dalam kondisi apa kita saat itu, wajib berangkat. Ada tidaknya kendaraan menuju lokasi kejadian, tidak boleh menjadi alasan. Begitu ada tugas yang harus dikerjakan, ya dilakoni. Menolak tugas, itu sama saja mencari "mati". Di militer disertir namanya. Dalam konteks jurnalis juga begitu. Bahkan, beberapa aturan perusahaan menuliskan "jurnalis yang menolak tugas sama artinya mengundurkan diri". Bisa mampus kan? Kalau tentara dan polisi punya jadwal piket, demikian juga wartawan. Ia mesti bersiaga jika ada kejadian yang mesti direportase. Kalau pemimpin redaksi memerintahkan mesti berangkat meliput, jawab dengan satu kata saja. Diksinya pilih yang enak diucap di mulut. Bisa "baik", "oke", "siap", meluncur", "OTW". Intinya, jangan pernah menolak tugas. Kecuali reporter yang bersangkutan masih cuti menikah. Kalau si pemimpin redaksi memerintah, ya keterlaluan namanya. Namun, kalau kejadiannya adalah tetangga wartawan yang sedang cuti dan tidak ada jurnalis lain, mesti siap turun. Ibarat ada peluang menangkap koruptor, penyidik KPK yang sedang cuti pun mesti bertindak. Maka itu, andai kepingin jadi jurnalis, bersiap-siagalah. Kedua, tidak boleh tidak dapat. Ada banyak reporter yang gagap saat menerima telepon dari pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau redakturnya. Kalau sudah melihat nama bos di layar ponsel, hakulyakin, yang ada di pikiran mereka "aduh, disuruh apa lagi gua ini", "salah apa lagi sampai ditelepon", atau "apa lagi kerjaan ini". Meski begitu, tetap saja diangkat dan menerima titah berikutnya. Dan dalam konteks ini, berita atau komentar narasumber yang diminta, wajib didapat. Tidak boleh tidak dapat. Harus dapat. Yang berabe kalau narasumber tidak bisa ditemui, SMS pun tidak dibalas, dan narasumber alternatif tidak bisa dicari. Kalau mentok seperti itu, berkonsultasilah dengan redaktur karena dia adalah orang yang secara garis komando paling dekat dengan reporter. Barangkali dia bisa memberikan masukan dan alternatif narasumber. Sewaktu konflik di Mesir antara demonstran dan rezim Hosni Mubarak, seorang reporter Lampung Post, Rizki Elinda Sary namanya, diminta mencari mahasiswa Indonesia di negeri Sphinx itu untuk diwawancara. Dia berusaha keras agar dapat akses ke sana. Ujung-ujungnya dapat dengan melakukan wawancara via Facebook dengan mahasiswa asal Lampung yang masih terjebak di Mesir. Jurnalis memang dituntut kreatif. Tidak bisa wawancara langsung, interviu tertulis tak masalah. Itu juga tidak bisa, via SMS, BlackBerry Messenger, atau Facebook pun boleh. Otak mesti diputar agar tugas dari pimpinan bisa dilaksanakan. Ketiga, tidak boleh mematikan ponsel. Karena mesti bersiaga 24 jam, ponsel adalah alat komunikasi mahautama buat jurnalis. Sebab itu, mematikan ponsel dalam masa bekerja adalah kekeliruan besar. Kita bisa dimaki redaktur dan pemimpin redaksi jika ponsel mati terus saat dihubungi. Meski sekarang setiap reporter mengirim berita via internet, bertanya kepadanya soal beberapa hal adalah penting. Barangkali redaktur mau memverifikasi nama dan kejadian. Ia menelepon tak semata memerintahkan reporter mencari berita lain. Bisa jadi sekadar menyapa atau si redaktur hendak curhat. Jadi, buang jauh-jauh sikap skeptis kepada redaktur atau pemred. Skeptis hanya boleh kepada narasumber. Jangan pula menyesal jika ternyata telepon yang masuk ke ponsel kita yang mati mengabarkan ada bonus dari kantor. Kalau itu yang terjadi, siap-siap saja gigit jari. Sedapat mungkin ponsel dalam kondisi siaga. Kalaupun hendak mengecas, lakukan malam hari sepulang kerja dan segera hidupkan di pagi hari. Namanya juga tugas, kadang seharian tak ada yang menelepon, tapi ada kalanya berdering terus setiap jam. Keempat, tidak boleh libur. Ini ungkapan hiperbola tentu saja. Sebab, setiap reporter umumnya punya waktu libur satu hari dalam sepekan. Di media lain ada yang liburnya sehari dalam dua minggu. Tapi, kembali ke kesiapsiagaan tadi, sejatinya jurnalis tak ada libur. Ia mesti dalam kondisi siap setiap hari. Setiap ada panggilan tugas, ia mesti siap. Sebab, ada kalanya, kemampuan seorang jurnalis diperlukan saat ia sedang rehat. Misalnya, kantor kedatangan duta besar Amerika Serikat. Ia belum piawai berbahasa Indonesia. Rumah kita dekat dengan kantor. Sedangkan reporter piket belum ada. Karena kita yang paling piawai berbahasa Inggris, kantor meminta kita datang. Ya dalam situasi model begitu, kita mesti siap ambil tanggung jawab. Ketimbang si dubes tidak ada yang menerima dan mendapat kesan kurang bagus, kita yang menerima dan mewawancarai. Kelima, tidak boleh menggerutu. Kadang tulisan kita tidak ditayangkan oleh penanggung jawab halaman atau redaktur. Dan kita pun tidak bertanya langsung kepadanya. Kita cuma menggerutu. Kadang tulisan yang tidak turun itu karena berkaitan dengan kebijakan redaksi. Misalnya, kita menulis soal penyitaan aset negara oleh kejaksaan setempat. Celakanya, penyitaan aset negara itu berujung ricuh. Mereka yang disita asetnya tidak menerima kemudian berkeras tidak menerima. Kita pun mereportase apa yang sedang terjadi. Kita berharap tulisan itu menjadi berita utama. Paling tidak menjadi berita utama di halaman dalam. Namun, saat besok kita lihat, berita kita tidak masuk. Dan kelanjutan dari berita itu juga tak pernah dimuat. Dalam kondisi semacam inilah reporter diminta legawa. Itu pasti kebijakan redaksi. Mungkin berkaitan dengan sikap redaksi soal itu itu. Kalau kita penasaran, kita tanya saja dengan redaktur atau pemred. Mereka akan menjelaskan. Meski demikian, tanpa bertanya saja kita sudah bisa menduga bahwa berita itu tidak tayang karena kebijakan redaksi. Kalaupun kita bertanya, sudah bisa diduga jawaban bos media kita ialah "ini kebijakan redaksi". Tugas kita selaku reporter memang sebatas melaporkan. Soal tulisan itu turun atau tidak, jadi berita utama atau biasa, itu wewenang redaktur dan unsur pimpinan. Tapi, alangkah bijak jika manajemen memberi tahu reporter bahwa berita semacam itu tidak bisa turun. Manajemen redaksi punya trek dan tren tersendiri terhadap berita yang mau diturunkan. Maka itu, janganlah menggerutu. Lebih baik tanyakan. Kalau sudah jadi kebijakan, lebih baik menurut. Namun, kalau dalam kacamata kita itu layak diberitakan dan menganggap media kita salah, serta kita sangat tidak nyaman lagi, pilihan cuma satu: keluar. Toh itu pilihan. Itu bentuk idealisme juga. Cuma ada baiknya kita mengukur kembali niat itu. Apakah dengan keluar kita bisa menolong lebih banyak korban tertindas dengan berita yang kita bikin. Atau malah kita tak bisa berkontribusi lagi buat masyarakat. Akan tetapi, pilihan sadar adalah yang terbaik: bertahan atau keluar. Keenam, tidak boleh dihalangi. Kalau Anda kedatangan jurnalis dan dia datang baik-baik, terima saja dengan terbuka. Jurnalis yang seperti itu hampir bisa dipastikan datang dari media arus utama dan niatnya cuma cari informasi. Meski informasi yang mau ia gali soal korupsi, penyelewengan anggaran atau tindak pidana, umumnya ia akan bekerja dengan baik. Misalnya seorang wartawan datang mau mengonfirmasi soal dugaan pungli di sekolah. Ia pasti menemui narasumber utama: kepala sekolah. Meskipun ada resistensi dari sekolah, jurnalis yang baik tetap sopan selama mereportase. Ia tidak bakalan merasa gagah karena dirinya wartawan. Kalaupun ia tak mendapat narasumber resmi, obrolan beberapa guru dan siswa yang tak mau ditulis namanya, sudah cukup menjadi dasar untuk menulis. Apalagi kalau ada dokumen yang sudah ia pegang. Kalau pihak yang terduga menyeleweng memang tak bersalah, ia pun tidak takut menghadapi wartawan. Meski isi wawancara adalah bantahan terhadap kabar itu, wartawan tetap mencatatanya sebagai bagian dari pekerjaan reportasenya. Ia tinggal menyinkronkan antara data yang ia pegang dengan konfirmasi ke sekolah yang bersangkutan. Jurnalis tidak boleh diintimidasi selama ia melakukan reportase. Ia dilindungi Undang-Undang tentang Pers. Kalaupun narasumber merasa jurnalis yang mendatanginya malah memeras, segera laporkan ke polisi. Sudah banyak wartawan gadungan yang masuk bui karena polahnya yang memuakkan. Buat yang model begini, jangan diberi ampun. Penjara adalah tempat yang pantas buat para pemeras yang berlindung dengan selembar kartu pers. Ketujuh, tidak boleh digaji kecil. Wartawan juga punya hak untuk hidup layak. Punya rumah, dapur tetap mengepul, ada asuransi jiwa, kesehatan, punya tunjangan, dan bisa menyekolahkan anak sampai strata paling tinggi. Dengan begitu, jurnalis butuh gaji yang layak. Besar-kecil jelas ratif karena setiap orang punya pandangan berbeda soal itu. Tapi, standarnya tetap saja ada. Kalau gaji jurnalis cuma cukup buat makan, itu tidak ideal. Maka itu, manajemen wajib memberikan gaji yang layak buat wartawan. Di Bandar Lampung, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung pernah menyurvei berapa gaji yang layak buat seorang reporter lajang/gadis. Ketemu angka Rp 2,3 juta. Angka ini jelas bertambah jika wartawan sudah memiliki istri dan anak. Filosofi pendiri Kompas, PK Ojong soal gaji, saya sepakat sekali. Kata Ojong, gaji itu jangan cuma melihat karyawan seorang. Tapi, penghasilan itu mesti cukup untuk istri dan anak. Tidak salah kalau jurnalis dalam grup Kompas termasuk yang paling baik penggajiannya. Media lain seharusnya juga demikian. Apalagi yang sudah berdiri lama. Harus ada penyesuaian setiap tahun karena harga barang pasti terkerek setiap bulan. Kalau gaji tak naik-naik, mana cukup untuk menghidupi keluarga jurnalis. Kalau gaji wartawan rendah, sedikit banyak berpengaruh terhadap kinerja. Bos media jangan cuma mau berita eksklusif saja, tapi tidak memikirkan kesejahteraan wartawan. Mau berita bagus, tapi gaji wartawan digencet. Mau artikel yang menarik tetapi tak dipikirkan keluarga si jurnalis. Berimbang saja. Kalau pemimpin redaksi ketat terhadap wartwan, ia wajib memperjuangkan gaji penggawanya ke pemilik modal juga dengan gagah. Kalau ia sanggup berceloteh tentang jurnalisme, begitu juga seharusnya saat ia berhadapan dengan bos medianya. Sangat naif kalau wartawan sakit saja pengobatan dari kocek sendiri. Besok-besok, jangan harap jurnalis mau bekerja serius kalau itu kejadiannya. Jangan harap wartawan mau mengaktifkan ponselnya kalau perhatian kantor kecil. Wartawan wajib digaji layak. Ia juga buruh. Tapi ia bekerja dengan profesionalitas dan intelektualitas. Maka itu, ia berhak dihargai dengan gaji yang manusiawi. Kedelapan, tidak boleh menerima suap. Jurnalis wajib mengedepankan independensi dari semua narasumber. Dan media semestinya bisa serupa itu dengan pemasang iklan. Artinya, skeptisme media dan jurnalis sebaiknya sama dan sebangun. Dalam konteks itu, jurnalis dilarang menerima pemberian apa pun dari narasumber. Hampir semua media sepakat dengan ini. Sebab, di boks redaksi acap ditemukan kalimat "wartawan kami dilarang menerima apa pun, dari siapa pun, dan atas kepentingan apa pun." Ini menyiratkan media juga melarang keras jurnalisnya menerima duit atau yang dalam bahasa keseharian disebut "amplop". Sayangnya tidak setiap media tegas dengan wartawan yang menerima duit amplop. Bahkan, media yang tak bisa menggaji wartawannya, malah permisif dengan itu. Kadang ada jurnalis yang bilang "kalau tidak menyangkut pemberitaan dan sekadar menjaga hubungan, amplop tidak apa diterima". Ada juga yang bilang, "Kalau tidak minta dan dikasih, itu kan rezeki, terima saja." Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tegas melarang anggotanya menerima amplop. Yang ketahuan dan tercium gelagat itu, pasti dipecat. Di Bandar Lampung, sudah ada kejadian semacam itu. Sayangnya organisasi profesi pers lain masih permisif. Ditanya soal sikap organisasi soal amplop, malah mengelak dengan mengatakan itu urusan pribadi wartawan dan medianya. Aneh, bikin organisasi pers kok tidak punya aturan tegas soal itu. Pantas dunia jurnalisme terpuruk karena mayoritas masyarakat berpikir wartawan itu otaknya duit melulu. Sedih! Kenapa sih kok sampai menerima amplop itu dilarang? Jurnalis tak pernah tahu kapan seseorang itu menjadi narasumber. Maka, harus dijaga independensi. Salah satu cara, menolak semua pemberian. Manfaatnya, menjaga independensi dan tak punya utang moral. Kalau sudah permisif, mana bisa skeptis. Kalau sudah keseringan menerima duit dari gubernur, mana mungkin kritis. Seorang teman lama pernah mengatakan, "tangan di bawah takkan pernah sanggup melawan tangan di atas." Sudah sering menerima, pasti sungkan menulis kritis. Tegasnya, kalau mau jadi jurnalis yang baik, tolak amplop. Semaksimal yang kita bisa. Mantan Ketua AJI Bandar Lampung yang sekarang jadi Redaktur Pelaksana Tribun Lampung, Juwendra Asdiansyah, mengatakan, "hidup lebih bermakna dengan idealisme di dada". Subhanallah. Kalau merasa tak kuat godaan amplop, pilihannya seperti yang pernah disinggung di pon sebelumnya: mundur saja. Berhenti jadi wartawan. Ketimbang melacurkan diri dan menambah ruwet persoalan jurnalisme di masyarakat, lebih baik cari kerja lain. Kasihan kepada jurnalis yang independen dan idealis, disangka sama dengan jurnalis permisif amplop. Menolak amplop dalam banyak kasus, mendatangkan banyak keuntungan buat jurnalis. Tidak percaya? Ini buktinya. Seorang kepala depot Pertamina yang baru dilantik, tiba-tiba didatangi wartawan. Ada beberapa orang. Wajahnya tidak bersahabat. Lebih menyerupai pemeras ketimbang wartawan. Kepala depot lalu dimintai uang. Rutin lagi. Sebulan sekali. Kata para jurnalis gadungan itu, ini tradisi, di mana korporasi harus menyiapkan uang untuk keperluan publikasi.

Sang kepala depot stres. Ia sedikit depresi. Otaknya menstigma bahwa semua wartawan serupa itu. Ia pun menurut. Setiap konferensi pers, ia siapkan duit. Wartawan media utama dan abal-abal dikasih duit. Semua menerima. Tanpa terkecuali. Sampai suatu waktu ada dua wartawan muda anggota AJI meliput di sana. Saat membagi amplop, dua wartawan muda itu "kabur". Sang kepala depot heran. Kok ada menolak duit. Ia kejar dua jurnalis muda itu. Bayangkan, seorang kepala depot Pertamina sampai mengejar wartawan supaya menerima uang amplop. Dua jurnalis menolak keras. Sekian alasan dilontarkan sampai ujung argumentasinya begini, "Kami anggota AJI, kami tidak bisa menerima. Kami bisa dipecat kantor kalau menerima ini." Sang kepala depot tertegun. Ia heran sekaligus senang. Ia masygul sekaligus bangga. Ia lalu bilang, "Kalau semua wartawan seperti adik-adik, aman dunia ini." Sang kepala depot kemudian berubah perspektifnya soal wartawan. Sekarang, kalau ada informasi ekskusif soal bahan bakar, soal dugaan penggelapan bahan bakar, dua wartawan itu yang pertama diajak. Sebab, sang kepala depot tahu, yang dibutuhkan jurnalis adalah informasi, bukan duit. Narasumber sangat menghargai jurnalis yang profesional. Bahasa ekstremnya, jurnalis yang permisif dengan amplop, harga dirinya sudah bisa ditakar. Paling setara seratus atau dua ratus ribu rupiah! Miris!

Kesembilan, tidak berpolitik praktis. Menjadi jurnalis bukan berarti hak politiknya tercabut. Ia boleh menyalurkan hak pilihnya pada calon legislator partai tertentu. Yang tidak diperbolehkan ialah merangkap menjadi pengurus partai. Kalau sudah mau berpolitik praktis, jelas urusannya. Ia mesti menanggalkan baju jurnalisnya. Mengapa? Sebab, kalau sampai ia masih menjadi jurnalis akan ada konflik kepentingan. Sebagai aktivis partai, ia pasti memberitakan keharuman partainya. Padahal partai berorientasi kekuasaan. Dan saat berkuasa, mengutip Lord Acton, cenderung korup atau menyeleweng. Apakah mungkin ia masih mau menulis kebobrokan partainya sendiri? Maka, di beberapa media, aturannya tegas. Pilih aktif di partai atau terus sebagai jurnalis. Meski demikian, yang sembunyi-sembunyi pun ada. Kalau ditanya aktif tidak di partai, ia cuma menjawab "cuma fans saja, bantu-bantu sedikit". Soal jurnalis alih profesi jadi politikus, tidak ada masalah. Di DPR ada banyak legislator yang bermula dari jurnalis. Ada Ramadhan Pohan dari Demokrat yang bekas Pemred Jurnal Nasional (Jurnas), ada Effendi Choirie dari PKB, Teguh Juwarno asal PAN adalah bekas jurnalis televisi, Meuthia Hafid dari Golkar adalah jurnalis andalan Metro TV. Di skop daerah juga bertebaran anggota dewan yang mengawali kiprah di masyarakat dari jurnalis. Bahkan, beberapa kepala daerah juga awalnya wartawan. Di Lampung, bekas Wakil Bupati Lampung Timur Noverisman Subing adalah koresponden salah satu harian di Jakarta. Kesepuluh, tidak boleh sombong. Poin terakhir dari sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan "nabi jurnalisme" Bill Kovach dan Tom Rosensteil ialah rendah hati. Wartawan harus rendah hati. Ia harus mengakui kesalahan jika bersalah. Ia harus sopan dalam mereportase. Ia tidak boleh sombong. Sikapnya yang sopan dalam mewawancarai, harus sama kepada setiap narasumber. Kalau ia ramah saat mewawancarai gubernur, ia juga mesti begitu saat berhadapan dengan maling atau pembunuh. Kalau ia bersikap manis saat mewawancarai kepala dinas, sama dan sebangun saat menginterviu pelacur. Sebab, buat jurnalis, semua narasumber punya kedudukan yang sama. Mereka sumber informasi. Tak lebih, tak kurang. Wartawan yang sudah puluhan tahun bekerja tetap harus memperbaiki cara bekerja, cara mewawancarai, dan cara menulis berita. Tak jadi jaminan, sudah puluhan tahun jadi wartawan, pasti hebat. Belum tentu, Bro! Jangan sombong! Kenapa ini penting? Sebab, rendah hati akan sangat berharga saat jurnalis bekerja. Wartawan itu manusia biasa yang bekerja dengan banyak keterbatasan. Boleh jadi ia salah menulis nama narasumber, keliru menulis kronologi kejadian, salah menginterpretasikan ujaran narasumber, dan sebagainya. Pada saat itulah ia dituntut rendah hati, meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat. Dan itu bukan sesuatu yang hina. Bahkan, keluasan pandang jurnalis yang seperti itu yang disukai. Kita senang dengan teman yang acap meminta maaf saat ia bersalah. Kita pasti jengkel dengan karib yang ngotot benar padahal jelas-jelas keliru. Meralat berita, membetulkan artikel yang khilaf, meminta maaf atas kekeliruan interpretasi adalah beberapa contoh rendah hati dari seorang jurnalis. Namun, bukan berarti ia permisif dengan kesalahan narasumber dan mengikis skeptisismenya terhadap sumber berita. Saat Bondan Winarno menyusun buku soal kematian geolog Bre-X, de Guzman, ia juga bersikap rendah hati. Bahkan, meski karya Pak Bondan "Mak Nyus" itu terkategori investigasi soal kecurangan Bre-X dalam kasus emas Busang, Pak Bondan tetap rendah hati dalam mereportase. Ia bahkan mengaku secara terang-terangan bahwa ia wartawan dan akan meliput soal kematian de Guzman yang menurut dia janggal. Linda Christanty, jurnalis Aceh Feature, yang menceritakan itu kepada saya dalam sebuah kesempatan. Tegasnya, jadi jurnalis wajib rendah hati. Rendah hati takkan mengakibatkan martabat kita hilang. Justru dengan rendah hati, marwah kita sebagai wartawan tetap terjaga. Wallahualam bissawab.


(sumber)

Jurnalisme investigatif

Definisi jurnalisme investigasi oleh Steve Weinberg adalah "Reportase melalui inisiatif mereka sendiri dan bekerja swasta, yang penting bagi pembaca, pemirsa dan pengamat. Dalam banyak hal, subyek yang melaporkan keinginan bahwa kasus tersebut masih dalam penyelidikan tidak terungkap."

Menurut Greence Roberts, wartawan investigatif adalah reportase, khususnya melalui kerja dan inisiatif mereka sendiri, yang artinya adalah penting bahwa beberapa individu atau organisasi ingin dirahasiakan.
Tiga elemen dasar bahwa penyelidikan itu seorang jurnalis yang bekerja, bukan laporan investigasi yang dilakukan oleh orang lain, bahwa masalah yang dilaporkan melibatkan sesuatu yang sangat penting bagi pembaca atau pemirsa dan bahwa pihak lain berusaha untuk menutupi isu publik.
Dari definisi tersebut, jelas bahwa wartawan investigasi tidak mengikuti agenda orang lain. Mereka sendiri memutuskan apa yang layak untuk dibahas, bukan karena seorag pejabat atau orang lain meminta mereka untuk menutupi sesuatu.

Unsur-unsur lain yang membedakan wartawan investigasi adalah kerahasiaan dimana berita akan tertutup dan pengelakan wartawan yang akan meliput. Menurut sebagian besar wartawan, jika pemerintah tidak menyembunyikan informasi, berita bukan berita tercakup dalam investigasi tersebut.

Menurut Roberts, jurnalisme investigasi tidak hanya kepada para politisi menjebak dalam situasi yang sangat memalukan atau kemarahan akan memusatkan perhatian pada permukaan tetapi menggali atau mengungkap penyimpangan yang ditutup-tutupi, sehingga kami dapat membantu pembaca memahami apa yang terjadi di dunia yang semakin kompleks.
Memilih Target untuk Investigasi. Sebelum operasi, wartawan investigasi harus terlebih dahulu memilih apa target penyelidikan. Beberapa tujuan selalu bernilai menyelidiki, termasuk korupsi di pemerintahan, gedung DPRD, dan lain-lain.

Mulai penyelidikan. Investigasi dimulai dengan kedatangan panggilan telepon dari seseorang yang memberikan petunjuk tentang keberadaan perbedaan dalam suatu lembaga atau institusi atau suatu tempat.
Pembicara yang ramah. Pelaporan investigatif adalah pekerjaan yang paling jurnalistik beresiko. Para pihak yang menjadi target penyelidikan sering dilakukan tidak benar tindakan terhadap media dan jurnalis yang bersangkutan. Itu sebabnya, wartawan melakukan pekerjaan investigasi harus siap menerima risiko. Ini adalah tantangan bagi para wartawan yang benar-benar ingin menegakkan integritas profesi mereka.

Membuat hipotesis. Hipotesis adalah teknik berpikir yang paling penting dalam menyelidiki. Hipotesis bahwa fungsi penting adalah untuk membantu melihat arti dari suatu obyek atau peristiwa. Misalnya, pikiran sudah siap dengan hipotesis tentang evolusi akan melakukan pengamatan berarti lebih dari sebuah perjalanan dari bidang pikiran yang tidak siap.

Hipotesis harus digunakan sebagai alat untuk mengungkap fakta-fakta baru dan bukan sebagai tujuan. Hipotesis yang disajikan di sini karena dua faktor: Pertama, hipotesis masih merupakan cara terbaik untuk mengetahui apa yang terjadi. Kedua, reportase investigasi dimulai dan diakhiri dengan asumsi.

Lima Elemen Investigasi, yaitu:

1. Mengungkap kejahatan terhadap kepentingan umum, atau tindakan yang merugikan orang lain.
2. Kasus yang mengungkapkan skala kemungkinan meluas atau sistematis (ada kaitan atau benang).
3. Menjawab semua pertanyaan penting yang muncul dan pemetaan masalah jelas.
4. Altor-kursi aktor yang terlibat secara lugas, didukung oleh bukti yang kuat.
5. Masyarakat dapat memahami kompleksitas masalah yang dilaporkan dan dapat membuat keputusan atau perubahan berdasarkan laporan.

Tanpa kelima elemen ini, sebuah laporan panjang hanya dapat disebut sebagai laporan mendalam (pelaporan mendalam).

Berita reguler

Laporan mengatakan.
Begini saja, siapa, di mana, kapan, mengapa, bagaimana (5W + IH)
Untuk informasi (data) kepada publik

Mendalam

Laporan menggambarkan
Lebih menjelaskan bagaimana dan mengapa (bagaimana dan mengapa)
Memberikan PENGETAHUAN dan pemahaman
Penyelidikan
Laporan menunjukkan
Lebih menunjukkan apa dan siapa (apa dan siapa)
Terungkap dan meluruskan masalah bergerak maju untuk pertanyaan: bagaimana bisa, seberapa jauh, dan siapa saja.

Lima modal dasar dalam penyelidikan:
1. Kemauan, ketekunan, dan keberanian.
2. Jaringan yang luas.
3. Meningkatkan pengetahuan yang memadai.
4. Keterampilan untuk mempersiapkan dan mengemas laporan.
5. Mendukung lembaga-lembaga media.

Tanpa pembedaan jenis media (cetak, radio, televisi), setelah menentukan topik dan mengukur masalah berat (assessment), maka perencanaan garis besar dalam sebuah proyek investigasi adalah sebagai berikut:
• Membentuk tim (multi-spesialisasi).
• Melakukan penelitian, pengamatan awal, atau survei.
• Menentukann angle (fokus) dan memutuskan hipotesis.
• Merancang pelaksanaan strategi (teknik. logistik, dll)
• Menyiapkan skenario pasca-publikasi.

Tiga Elemen dalam implementasi atau pelaksanaan Investigasi:
1. Tahap: mencari bukti dan kesaksian.
2. Metode: isi dokumen, browsing.
3. Teknik: menyamar, observasi, pengawasan, tertanam, atau rendam.

Lima Elemen Investigasi Strategis:
1. Ditetapkan berurutan.
2. Metode yang digunakan.
3. Teknik yang digunakan.
4. Pemilihan sumber daya manusia.
5. Logistik seperti, keuangan, peralatan dan lain-lainnya.

Elemen awal yang mempengaruhi kepentingan pemirsa televisi / pendengar:
1. Gambar atau suara yang menarik perhatian.
2. Relevansi berita dengan kehidupan sehari-hari mereka.
3. Pengantar sebuah cerita yang menarik.
4. Pihak berwenang presenter atau penyiar yang disampaikan cerita.

Menyiapkan laporan investigasi publik diajak berjalan melalui rute yang sama dengan yang kami telah berlalu sampai kita memahami masalah.


(sumber)

7 Pedoman Seorang Jurnalis Hebat yang Harus ditanamkan

Agar seorang jurnalis lebih menyelami apa itu Jurnalistik baru, seorang jurnalis hatuslah berkomitmen dengan tujuh pedoman jurnalistik baru. Ketujuh pedoman tersebut haruslah ditanamkan kuat-kuat agar menjadi seorang jurnalis yang mantap. Pedomana tersebut diantaranya sebagai berikut:

    Selalulah tanamkan dalam diri anda bahwa anda adalah seorang jurnalis dan reporter yang hebat di manapun dan kapanpun. Sehingga tak ada masalah bagi anda dengan dunia kejurnalistikan, dan siap untuk profesional sebagai jurnalis.
    Ingatlah yang dihargai oleh khalayak adalah karya yang berkualitas. Maka, motivasilah diri sendiri hingga anda memiliki loyalitas dan kualitas tinggi terhadap profesi jurnalistik.
    Jangan pernah membuat berita yang meiliki unsur syara atau palsu atau juga isu yang kurang jelas, apalagi menyelipkan kebohongan. Tulislah berita sesuai dengan apa adanya serta tetap berimbang (balance, tidak memihak, akurat dan terpercaya).
    Asah terus latih pengetahuan umum anda dan belajar mempertajam insting jurnalis. Jadilah seseorang jurnalis yang baik, unik, dan bernilai bagi khalayak sekitar.
    Jika anda mempunyai kesungguhan ingin jadi jurnalis, mulai lah dari sekarang untuk mempublikasikan karya-karya melalui blog. Buat lah blog pribadi, kemudian aktif berinteraksi dalam dunia blog tersebut dengan mengisi kejadian-kejadian sekitar, seperti future, news, cerpen, maupun karya tulis lainnya agar anda terbiasa dengan kegiatan tulis menulis.
    Belajar dan berani untuk membuat opini/pendapat yang berbeda. Maksudnya, buatlah opini atau karya-karya yang bersifat inspiratif, baru, dan informatif.
    Selalu lah membaca buku-buku, artikel, dan karya tulis lainnya. Terutama karya tulis dan buku-buku yang berkualitas, seperti tulisan yang bersifat edukatif, inspiratif, dan informatif.


Bila ketujuh pedoman tersebut ditanampakan sejak awal menjadi jurnalis, maka kehebatan seorang jurnalis tersebut akan semakin kuat dan mantap.

(sumber)

7 Pedoman Bagi Jurnalis Baru

Setidaknya ada 7 pedoman yang harus dipegang oleh seorang jurnalis baru. Ke-7 pedoman tersebut diantaranya adalah

1. There is no problem with Journalism.

Tidak ada masalah dengan jurnalistik. Dunia jurnalistik tiada habisnya. Dengan produk berita yang harus selalu update, menjadikan dunia jurnalis ini sebuah lahan yang tidak perlu dikhawatirkan. Karena akan selalu ada kebutuhan untuk berita dan wartawan.

Masalahmya yaitu perlu adanya komunikasi yang diselamatkan dalam bidang ini. Sebagai seorang jurnalis, komunikasi yang jujur sangat diperlukan untuk mendapatkan kepercayaan dari para pembaca.

2. People pay for high quality journalism.

Orang-orang akan membayar tinggi para jurnalis yang berkualitas tinggi. Seperti para jurnalis yang bekerja di media The Economist, The New York Times, Wall Street Journal, New Yorker, Atlantic Monthly, Monocle. Para jurnalis tersebut memiliki kualitas dan kuantitas yang dapat diperhitungkan.

Bukan hanya dengan tulisan yang baik, mereka pun harus menjadi jurnalis yang memiliki kredibilitas dan profesionalisme yang tinggi. Dengan menjunjung kode etik jurnalis yang berlaku di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, jurnalis seperti ini akan banyak dibutuhkan dan dicari oleh media mainstream.


3. As long as you will cover the news in a no-bullshit way, you will do fine.

Selama kita tidak memberitakan kebohongan, maka orang-orang akan tetap datang dan mencari hasil tulisan kita. Karena sebagai seorang jurnalis yang menjadi sumber informasi bagi masyarakat, kepercayaan dari publik pun menjadi pengaruh yang paling utama untuk tetap bisa bertahan.

4. Be a good, unique, and valuable journalist.

Jadilah seorang jurnalis yang baik, unik, dan berharga. Karena dengan khas dan keunikan yang kita miliki, banyak masyarakat dan media yang akan membutuhkannya. Keunikan tersebut bisa menjadi daya jual yang tinggi bagi jurnalis tersebut.

5. If you want to do journalism, launch a blog right now and get on with it.

Jika ingin menjadi seorang jurnalis, kenalilah blog mulai dari sekarang. Gunakan dan dapatkan manfa'at blog mulai dari sekarang. Karena jika blog anda unik dan memiliki nilai yang tinggi, maka anda akan bisa memiliki jalan yang besar bahkan berhasil dari blog tersebut.

6.  Learn how to interact with people online

Pelajarilah cara berinteraksi dengan para pengguna media online. Seperti melalui komentar blog, membuat forum, serta memanfa'atkan media sosial seperti facebok dan twitter sehingga anda pun bisa mendorong partisipasi dan melibatkan mereka didalamnya.

7. Read good stuff.

Bacalah hal-hal yang baik dan bermutu. Jauhkan diri dari membaca blog yang belum dapat dipercayai kebenaran dan keakuratannya. Membaca blog orang-orang ini akan membuat anda melakukannya dengan baik - Jay Rosen, Nicholas Carr, Clay Shirky.

(sumber)