Thursday, July 8, 2010

Cara Melaporkan Penyalahgunaan Profesi Wartawan

Wartawan profesional akan menaati kode etik, tidak menyalahgunakan profesi, tidak menerima suap, apalagi memeras dan/atau memelas.

ADA mitos, wartawan adalah “sosok menakutkan”, khususnya bagi mereka yang bermasalah. Akibatnya, banyak "oknum" wartawan atau wartawan abal-abal "bergentayangan" mencari mangsa yang "Ujung-Ujungnya Duit".


Wartawan profesional selalu menggunakan cara-cara etis dalam mencari informasi dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. "Minta duit" merupakan pelanggaran terhadap kode etik dan salah satu ciri wartawan tidak profesional.

Jika ada yang "oknum" yang menyalahgunakan profesi wartawan, masyarakat bisa melaporkan atau mengadukannya ke Dewan Pers.

Dewan Pers sudah membuat Prosedur Pengaduan di halaman situs webnya.
Dalam Pasal 2 tentang Hal yang Bisa Diadukan disebutkan, Dewan Pers menerima pengaduan menyangkut:

a. Karya jurnalistik, perilaku, dan atau tindakan wartawan yang terkait dengan kegiatan jurnalistik;
b. Kekerasan terhadap wartawan dan atau perusahaan pers;
c. Iklan sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan peraturan perundangan yang berlaku.

Prinsip Kerja Kewartawanan: Pedoman Dewan Pers

1. Wartawan dalam menjalankan pekerjaan jurnalistiknya selalu berdasar pada prinsip-prinsip etika. Wartawan Indonesia telah memiliki Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang menjadi acuan bagi seluruh wartawan di Indonesia.

2. Wartawan tidak boleh menggunakan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, serta tidak meminta imbalan dalam mencari informasi.

3. Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktek penyalahgunaan profesi wartawan, dengan malaporkan aktivitas-aktivitas tidak profesional –yang mengatasnamakan sebagai wartawan– kepada kepolisian.

4. Kepada anggota masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah diharapkan agar cermat dalam mengidentifikasi wartawan/media serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mengecek kebenaran serta status media tempatnya bekerja. Wartawan profesional selalu menggunakan cara-cara etis dalam mencari informasi.

5. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (uang amplop) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.

Kode Etik Wartawan Indoensia (KEWI) dengan jelas menyatakan, wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Menurut Dewan Pers, dengan tidak memberikan "uang amplop", berarti masyarakat turut membantu upaya penegakkan etika wartawan, serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.
7 Ciri Media dan Wartawan Abal-Abal
Masyarakat harus mampu membedakan antara wartawan profesional dan wartawan abal-abal (palsu).

Dalam sebuah seminar media literasi bertajuk “Membedakan Media Profesional dan Media Abal-abal” di Mamuju, 5 Maret 2015,  Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, membeberkan, ciri-ciri media dan wartawan abal-abal.

Seperti diberitakan Fajar, dalam klasifikasi Yosep, setidaknya ada tujuh ciri media abal-abal:

  •     Tidak berbadan hukum
  •     Alamat redaksi tidak jelas
  •     Tidak mencantumkan nama penanggungjawab dalam boks
  •     Terbit temporer (kadang terbit, kadang tidak.
  •     Isi media melanggar kode etik
  •     Bahasa yang digunakan tidak memenuhi standar baku
  •     Nama media terkesan menakutkan.

Ciri wartawan abal-abal:

  •     Berpenampilan sok jago dan tidak tahu etika
  •     Mengaku anggota organisasi wartawan tapi tidak jelas, alias di luar PWI, AJI dan IJTI
  •     Pakai atribut aneh
  •     Pertanyaan yang diajukan terkesan tendensius.
  •     Tidak bertatakrama jurnalis
  •     meremehkan bahkan kadang mengancam dan memeras narasumber
  •     Tidak bisa memperlihatkan kartu kompetensi.

Banyak wartawan mengeluhkan gaji atau honor yang di bawah strandar. Namun, di sisi lain, rupanya banyak juga yang menyalahgunakan profesi terhormat ini sebagai "kedok" untuk memeras dan/atau memelas. Wasalam.


(sumber)

0 comments:

Post a Comment