Thursday, July 8, 2010

Tantangan Besar Jurnalis adalah Membedakan Opini dan Fakta di Lapangan

Membedakan opini dan fakta merupakan tugas berikutnya dari seorang jurnalis setelah ia terjun ke lapangan. Demikian penulis buku ‘Bokis’ dan ‘Matahati’, Maman Suherman di depan jamaah MY Night (Muslim Youth Night) Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA), Sabtu, 29 Maret 2014 kemarin.

Pada acara bertema “Let’s Speak, Grab Your Audience!” yang diadakan oleh Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA) ini, Maman Suherman, menjelaskan banyak  orang terkecoh membaca sebuah berita.

Apa yang sekilas dianggap fakta ternyata hanya sebatas opini.

Mencampuradukkan keduanya, mengaburkan kronologis berita dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Penyakit inilah yang terjadi pada kalangan jurnalis. Tiba-tiba asal menyambung-nyambungkan fakta seolah-olah menjadi satu kesatuan,”ulas pria yang pernah menduduki posisi Redaktur Pelaksana di beberapa media Kelompok Kompas Gramedia (KKG) itu.

Pergeseran media kearah media cyber, meningkatkan kecepatan penyampaian informasi. Maraknya penggunaan media sosial membuat akun yang termasuk dalam genre tersebut (seperti Twitter dan Facebook), dibanjiri “celotehan” dalam hitungan per-detik.

Akibatnya, sebuah fakta diperoleh dengan konfirmasi dan verifikasi.

“Hari ini kita dengar gosip kemudian kita langsung munculkan di Twitter tanpa bertanya apakah benar atau tidak,”tuturnya. Menurutnya, hal itu bisa sangat berbahaya.

Di hadapan jamaah Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), Maman menceritakan sebuah peristiwa naas akibat seorang pewarta berita tidak mengindahkan unsur konfirmasi dan verifikasi data.

Beberapa tahun lalu, di Aceh, tersiar kabar mengejutkan seorang gadis belia ditemukan gantung diri. Secarik surat tergeletak tidak jauh dari tempatnya tergantung.

“Inti surat itu Ia minta maaf pada ayahnya karena telah membuat aib keluarga,”tutur Maman dengan ekspresi sedih dan suara parau.

Lalu apa sebab Ia melakukan tindakan yang paling dibenci oleh Allah itu? Ternyata beberapa hari sebelumnya terdapat pemberitaan di sebuah koran lokal di sana tentang seorang gadis yang tertangkap bersama beberapa Wanita Tuna Susila (WTS) lainnya.

“Padahal anak ini keluar malam karena ingin mendapatkan hiburan. Bersama temannya, Ia berjalan untuk mendengarkan organ tunggal. Karena sudah malam Ia tunggu di alun-alun supaya ramai. Tidak disangka, di malam yang sama terjadi penggrebekan,”jelas Maman.

Tanpa diwawancarai, tanpa dikonfirmasi dan verifikasi, berita itu diterbitkan. Ayah sang gadis mendapat kabar tersebut dari tetangga. Ia kaget setengah mati dan langsung memaki anaknya setelah anaknya pulang. Sang anak, dikatakan oleh Maman merupakan gadis polos yang tidak tahu apa-apa. Kemiskinan keluarganya membuatnya putus sekolah dan tidak bisa membaca berita. Kesedihan si gadis yang tidak tahu apa-apa itu membuatnya memutuskan mengakhiri hidupnya. Semua itu bermula dari pemberitaan yang tidak terverifikasi. “Tantangan ini terbesar bagi umat Islam untuk tidak mudah melakukan fitnah dan pembunuhan karakter,”ulasnya.

Selain itu Maman juga menyoroti fenomena infotainmen di Indonesia.

“Yang masuk infotainmen di Indonesia adalah entertainmen news. Hati-hati! Yang bahaya itu bukan infotainmen. Karena infotainmen cuma seperti gelas. Kadang-kadang namanya bukan infotainmen tapi isinya lebih gosip dari infotainmen!”ulas Mentor Stand-Up Comedy di Kompas TV itu.

Hal itu dilakukan untuk meningkatkan rating televisi. Untuk memancing adegan melodrama bertabur tangisan, biasanya ada dua jurus pertanyaan disampaikan sang reporter.

“Bagaimana perasaan Ibu sekarang dan ada nggak firasat sebelumnya?”

Selain karena bentuk kedua pertanyaan itu tidak terdapat dalam kaidah jurnalisme, memunculkannya, ujar Maman, terkesan tidak memiliki empati. Apalagi jika pertanyaan tersebut ditanyakan pada keluarga korban kecelakaan.


(sumber)

0 comments:

Post a Comment